Kamis, 12 September 2013

GERAKAN MAHASISWA..!!!


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Gerakan mahasiswa tumbuh subur ketika lembaga-lembaga politik yang ada tidak mampu memainkan fungsi dan perannya secara optimal. Partai-partai politik, pihak eksekutif, legislative, yudikatif dan lain-lain di Indonesia belum mampu menjalankan tugasnya secara maksimal sehingga proses-proses politik meluber ke jalanan. Pada saat transisi demokrasi yang disertai kemandulan lembaga-lembaga politik yang ada, masyarakat membutuhkan penyalur aspirasi dan kepentingan masyarakat. Harapan masyarakat biasanya tertumpu pada lembaga akademis (kampus) yang masih dianggap steril dan objektif dalam memandang masalah. Harapan masyarakat ini bisa dijawab oleh mahasiswa yang mampu memainkan peran penyalur aspirasi ini secara optimal ketika gerakannya terorganisir secara rapi dan masif. Mahasiswa merupakan bagian integral dari perguruan tinggi yang dikenal sebagai simbol intelektualitas, maka pengabdian kepada masyarakat sesua ikompetensi intelektualnya merupakan tanggungjawabnya secara moral dan secara intelektual.
Gerakan mahasiswa juga pada hakikatnya adalah gerakan intelektual karena intelektualitas merupakan ciri khas yang sesuai dalam diri mahasiswa sebagai kelas menengah terdidik.[1] Oleh karena itu pergerakan mahasiswa dituntu tuntuk mampu menunjukkan kadar intelektualnya. Gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan ilmiah yang dibangun diatas basis rasionalitas yang tangguh. Gerakan mahasiswa bukanlah gerakan emosional yang dibangun diatas romantisme sejarah masa lalu sekaligus sarana penyaluran agresi gejolak muda. Partisipasi mahasiswa dalam gerakan merupakan respon spontan atas situasi sosial yang tidak sehat, bukan atas ideologi tertentu, melainkan atas nilai-nilai yang ideal. Gerakan mahasiswa bersifat independen dari kelompok kepentingan tertentu,tetapi tidak menutup kemungkinan ada langkah bersama, ini bisa terjadi lantaran sifat gerakan mahasiswa itu sendiri yang merupakan penyalur aspirasi rakyat dan gerakan moral. Dalam perjuangannya gerakan mahasiswa hari ini dituntut untuk mampu mengembangkan jejaring dengan elemen manapun sebagai bagian dari membangun gerakan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.

1.2.Rumusan masalah
Ø  Apakah arti dari gerakan mahasiswa?
Ø  Bagaiman pergerakan mahasiswa di era reformasi seperti dewasa ini?

1.3.Tujuan penulisan
Ø  Mengetahui apa yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa.
Ø  Mengetahui pergerakan mahasiswa di era reformasi seperti dewasa ini.



BAB II
PEMBAHASAN

Demokrasi berasal dari kara demos dan kratos/katein yang berarti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[2] Dalam sejarah panjang pemerintahan Indonesia selalu mengalami pasang surut dalam tatanan demokrasi mulai dari pemerintahan orde lama, orde baru, dan kini orde reformasi. Dalam perubahan tatanan demokrasi di Indonesia selalu diwarnai dengan derap perjuangan pelajar dan mahasiswa. Pemuda, pelajar, dan mahasiswa secara naluri selalu menjadi agen pengontrol (agent of control) dan agen perubahan (agent of change) demokrasi yang mewarnai percaturan politik di Indonesia. Karena pentingnya peran mahasiswa dalam mengontrol demokrasi di Indonesia, tidak mengherankan jika dahulu pemerintah orde baru berupaya menekan pergerakan mahasiswa yang selalu mengkritisi pemerintah melalui berbagai usaha yang pada intinya membatasi pergerakan mahasiswa dalam bidang politik dan memposisikan pelajar dan mahasiswa duduk manis dalam organisasi intra kampus dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Namun hal itu hanya bertahan dalam era orde baru hingga tahun 1998.
Di bawah kuasa tirani
Kususuri garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi
Bagiku satu langkah pasti



Sebuah syair perjuangan yang kita nyanyikan dengan lantang untuk mengobarkan semangat para mahasiswa terutama sewaktu turun aksi ke jalan. Hampir semua elemen gerakan mahasiswa menggunakan syair tersebut. Ini menunjukkkan bahwa semua elemen gerakan mahasiswa baik itu ekstra kampus dan intra kampus memiliki totalitas perjuang yang sama. Mahasiswa dengan segala potensinya selalu berusaha memberikan sumbangsih pikiran dan tenaganya untuk memberikan kontribusi terhadap persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa. Dalam aksinya ketika turun ke jalan mahasiswa selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk menentang berbagai kebujakan yang keluarkan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat secara umum. Aksi (turun ke jalan) bukanlah satu-satunya jalan untuk menentang kebijakan pemerintah yang diangap melenceng, tapi ini hanyalah salah satu alternative karena mahasiswa merasa merupakan bagian dari masyarakat.
            Ada fenomena yang menarik ketika kita melihat berbagi aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan mahasiswa yang semuanya mengaku sebagai pembela kepentingan rakyat. Maraknya demonstrasi ini tentu tidak telepas dari tumbangnya rezim orde baru dan dalam peristiwa tersebut mahasiswa turun ke jalan demonstrasi besar-besaran yang dibantu oleh masyarakat yang kemudian kita kenal dengan reformasi, karena memang aksi turun ke jalan merupakan cara yang paling ampuh pada saai itu membuat isu bersama dan memberikan informasi kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa bangsa ini harus melakukan perubahan sehingga masyarakat juga merasa harus ikut berpartisipasi dalam perubahan tersebut. Reformasi inilah yang seakan membuka kran demokrasi di Indonesia sehingga arus perubahan yang dulu tersumbat oleh kebijakan pemerintah yang otoriter kini mengalir dengan deras, rakyat telah bebas memberikan pendapatnya, mahasiswa sudah bisa bersuara lantang menentang kebijakan pemeintah. Arus perubahan dan kebebasan inilah yang semakin memperkuat harga jual rakyat terutama mahasiswa dalam pandangan pemerintah. Sering orang mengatakan kalau mahasiswa takut sama dosen, dosen takut kepada dekan, dekan takut kepada rektor, rektor takut sama presiden dan presiden takut kepada mahasiswa.
            Namun dalam realitanya yang terjadi tidak selamanya sesuai dengan yang diperkirakan, arus demokrasi tersebut mengalir terlalu deras tanpa ada pembatas atau hambatan sehingga tidak dapat diarahkan menuju agenda reformasi yang telah dicita-citakan, bahkan sudah lari dari agenda tersebut. Motor dari reformasi ini adalah mahasiswa, tetapi apabila kita kaji kembali sedikit ke belakang bahwa dalam demontsrasi yang dimotori oleh mahasiswa ternyata mendapat bantuan dari berbagai elemen termasuk masyarakat. Jadi perjuangan reformasi merupakan perjuangan bersama oleh mahasiswa sebagai motor dan masyarakat. Dua komponen inilah yang sangat berperan dalam proses perubahan. Maka, jangan mengannggap bahwa mahasiswa adalah segala-galanya yang dapat menyelesaikan semua permasalahan yang dialami oleh bangsa tanpa bantuan dan partisipasi dari masyarakat luas. Mahasiswa hanya dapat berbicara saja (sebagai pemikir) dengan konsep-konsep yang ideal tetapi tidak akan sanggup untuk merealisasikannya tanpa bantuan atau dukungan dari lapisan masyarakat, karena memang mahasiswa disamping tugas control sosial juga harus menyelesaikan tugas akademik di kampus masing-masing. Begitu juga dengan masyarakat, mereka tidak akan mampu melakukan suatu perubahan tanpa diiringi oleh sebuah pemikiran matang dan konsep yang jelas sehingga diperlukan intelektual muda yang memiliki pemikiran segar yang mampu untuk menjadi pemikir-pemikir bagi masyarakat. Maka perubahan akan tercapai apabila kedua komponen tersebut dapat berdampingan secara harmonis.
             Mahasiswa tidak boleh terjebak dalam euforia masa lalu tentang peranan mahasiswa sebagai penggerak perubahan. Selain itu kalu kita perhatiakan secara jernih lagi bahwa ternyata masih banyak sekali aktivis mahasiswa yang dulunya memperjuangkan kepentingan rakyat namun ketika statusnya berubah dari mahasiswa menjadi seorang pejabat (birokrasi) semua idealisme tersebut hilang, karena sudah terlena dengan jabatan yang dipegang sehingga berusaha untuk selalu mempertahankan jabatan dengan menghalalkan segala cara.[3] Sebagai contoh barangkali kita bisa sama-sama melihat banyak mantan-mantan aktivis mahasiswa terjerat kasus korupsi, namun hal itu tidak bisa dihilangkan tetapi kasus ini menjadi bahan evaluasi bagi kita sebagai seorang aktivis mahasiswa kenapa hal itu bisa terjadi di kalangan aktivis. Ada yang beranggapan bahwa hal itu kembali pada diri individu masing-masing namun kenapa individu-individu tersebut bisa muncul dalam diri seorang mahasiswa yang tergabung dalam suatu pergerakan, apakah memang tidak ada control dari organisasi pergerakan tersebut kepada anggotanya terutama berkaitan dengan moral. Hal ini sebenarnya terjadi karena memang tidak suatu internalisasi dari nilai-nilai moral yang dianut oleh suatu pergerakan mahasiswa kepada anggotanya sehingga ketika sudah berbeda statusnya nilai-nilai moral tersebut hilang tak berbekas dan idealismenya sebagai mahasiswa hilang terkalahkan oleh idealisme materialistis.
            Fenomena yang terjadi seperti yang dipaparkan di atas bisa saja menghinggapi gerakan mahsiswa saat ini. Minimnya pemberian muatan ideology dalam kaderisasi sebagian gerakan mahasiswa bisa jadi menjadi titik awal untuk munculnya mahasiswa yang memiliki ideology yang mengambang atau bahkan menjadi pragmatis karena memang akan selalu tepengaruh lingkungan dimana dia berkecimpung. Ideology adalah landasan kita untuk bergerak sehingga sangat penting bagi setiap gerakan mahasiswa untuk menanamkan nilai-nilai ideology kepada setiap anggotanya sejak dini.
Gerakan mahasiswa saat ini perlu melakukan evaluasi terhadap gerakan yang telah dilakukan. Apakah memang sudah memberikan sumbangsih kebaikan atau sebaliknya menambah kesengsaraan yang saat ini telah menimpa rakyat Indonesia. Oleh karena itu mari kita sama-sama mengajak semua elemen gerakan mahasiswa untuk kembali pada gerakan murni yang ideal sehingga bisa mengembalikan citra nama baik mahasiswa yang katanya kaum intelektual muda yang memang peduli dan bisa memberikan sumbangsih pikiran dan tenaga untuk kepentingan rakyat Indonesia. Terutama dalam konteks kepeduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang berkembang di tengah masyarakat. Berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat dengan adanya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Maka kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi terhadap konflik-konflik yang terjadi yang dilakukan oleh penguasa. Secara umum advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terejadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengarah pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap kondisi masyarakatnya serta dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup anak bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dialakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam rangka melakukan koreksi atau control atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami penyimpangan dan telah melanggar komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perubahan dalam tataran masyarakat.[4] Oleh karena itu, perannnya menjadi begitu penting dan berharga ketika itu dilakukan di tengah-tengah masyarakat yang sedang dilanda oleh persoalan-persoalan sosial politik. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa di dunia telah membuktikan bahwa perubahan sosial yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dimotori oleh adanya gerakan perlawanan gerakan mahasiswa walaupun mendapatkan tekanan dari pemerintahan yang sedang berkuasa.
Masa studi selama di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap dan persepsi mereka dalam meumuskan kembali masalah-masalah yang tejadi di sekitarnya. Berhentinya suatu ideologi dalam memecahkan masalah terjadi meransang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Ketika mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang kritis dengan mata hatinya, merekan akan merasa terpanggil sehingga terangsang untuk bergerak.
Di samping gerakan mahasiswa melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap melenceng dan merugikan rakyat banyak baik itu dengan jalur politik atau dengan cara lain, maka perlu kiranya gerakan mahasiswa untuk merubah pemikiran gerakan antara lain: pemikiran dari membaca ke menganalisa. Gerakan mahasiswa dalam melakukan gerakannya perlu sebuah konsep yang jelas sehingga apa yang dilakukan tidak mengambang dan tepat sasaran, maka dituntut untuk membaca dan memperdalam wawasan tentu tidak cukup dengan membaca dan mencari informasi tetapi semua itu harus dibarengi dengan tradisi menganalisa informasi atau persoalan dengan berfikir logis dan mendalam. Pemikiran dari teks ke kontekstual, terkadang pemahaman mahasiswa atas teks-teks yang dipelajari di kampus bersifat tekstual. Oleh karena itu, perlu adanya penyeimbangan antara pemikiran dalam memahami realitas. Kalangan mahasiswa tidak semestinya hanya memahami teks saja tetapi harus mampu melihat perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang cepat dari teks-teks yang dipelajari di kampus. Pemikiran mahasiswa di kampus harus bertumpu pada penyelarasan ideologis dengan ketajaman analisa terhadap persoalan-persoalan yang terjadi. Kalangan mahasiswa harus mampu membaca, mengkaji, dan berdiskusi secara logis, kritis, sistematis dan komprehensif serta mampu membedah persoalan dari berbagai aspek dan sudut pandang ilmu.[5]



BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Demokrasi berasal dari kara demos dan kratos/katein yang berarti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sejarah panjang pemerintahan Indonesia selalu mengalami pasang surut dalam tatanan demokrasi mulai dari pemerintahan orde lama, orde baru, dan kini orde reformasi. Dalam perubahan tatanan demokrasi di Indonesia selalu diwarnai dengan derap perjuangan pelajar dan mahasiswa. Pemuda, pelajar, dan mahasiswa secaranaluri selalu menjadi agen pengontron (agent of control) dan agen perubahan(agent of change) demokrasi yang mewarnai percaturan politik di Indonesia.
Gerakan mahasiswa saat ini sudah saatnya untuk melakukan evaluasi terhadap gerakan yang telah dibangun. Kalau selama ini kita melakukan gerakan yang mungkin menurut kita sudah memberikan sebuah pembelaan terhadap masyarakat tetapi dalam realitanya masyarakat justru menganggap merugiakan mereka, perlu kita kaji ulang untuk mencari alternatif lain yang lebih aman dan pas kiranya agar tidak menganggu aktivis masyarakat. Sebagai contoh misalnya ketika mahasiswa mengadakan aksi turun ke jalan membawa isu ingin membela kepentingan rakyat, yang seharusnya mahasiswa mendapat support dari masyarakat, tapi yang terjadi juustru sebaliknya mereka menganggap mahasiswa telah menghambat activitas mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selama ini gerakan mahasiswa banyak terfokus pada persolan-persolan Nasional dan Internasional sehingga persolan lokal terabaikan padahal sebenarnya itu tidak kalah urgennya untuk diangkat sebagai isu bersama dan itu adalah persoalan yang langsung menyentuh rakyat, maka kedepannya gerakan mahasiswa jangan hanya terfokus pada persolan-persoalan Nasional dan Internasioanal tetapi juga harus membahas persoalan yang ada di daerah-daerah yang langsung menyentuh masyarakat. Kalau selama ini gerakan mahasiswa hanya bisa melakukan tindakan protes terhadap kebijakan pemerintah, melakukan pelawanan terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Kedepan sudah seharusnya gerakan mahasiswa bisa bekerja sama dengan pemerintah mencari solusi terbaik untuk mengatasi persolan-persoalan yang dialami oleh bangsa ini. Barangkali gerakan mahasiswa harus memikirkan konsep yang jelas untuk membantu pemerintah mencari solusi terhadap persolan yang ada. Keterbukaan pemerintah sangat diharapkan disini sehingga komunikasi bisa berjalan lancar dan tidak ada saling mencurigai antara gerakan mahasiswa dan pemerintah.





DAFTAR PUSTAKA

Apudin. 2005. Mahasiswa dan Masyarakat. Buletin Socius Edisi 1, Januari 2005.

Gie, Soe Hok. 2005. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.

Asri  Sinawang, Helena. 2008. Pendidikan Sejarah Untuk Menanamkan dan Membentuk Nasionalisme. Republika 7 Mei 2008.

Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.

Adams, Cindy. 2011. Bung Karno “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Jakarta : Yayasan Bung Karno.


[1] Apudin. 2005. Mahasiswa dan Masyarakat. Buletin Socius Edisi 1, Januari 2005.
[2] Adams, Cindy. 2011. Bung Karno “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Jakarta : Yayasan Bung Karno.
[3] Gie, Soe Hok. 2005. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.

[4] Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.
[5] Asri  Sinawang, Helena. 2008. Pendidikan Sejarah Untuk Menanamkan dan Membentuk Nasionalisme. Republika 7 Mei 2008.

Rabu, 11 September 2013

Format Ideal Parlemen di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Sebuah tulisan yang berawal dari ide ataupun gambaran penulis mengenai “keadaan parlemen di Indonesia”. Boleh setuju ataupun tidak. Perbedaan pendapat dan pikiran justru yang penulis harapkan. Pemikiran-pemikiran brillian dari para pembaca untuk bersama-sama mencari sebuah “format ideal parlemen bagi Indonesia” sangat dibutuhkan penulis guna membangun Indonesia yang lebih baik.

1.1. Latar Belakang
Jati diri suatu bangsa bukan saja dapat kita lihat dari bagaimana karakter pokok dari warga bangsa, tetapi juga pilihan ideologi dan sistem pemerintahan yang dipilih oleh bangsa tersebut. Sistem pemerintahan demokratis-kontitusional bangsa kita telah dirancang oleh the founding fathers dalam UUD 1945. MPR-RI periode 1999-2004 yang telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali hanya dalam waktu 2 tahun pun telah menetapkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan Negara.
Sebelum mengulas lebih lanjut, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang system Presidensial. Sistem pemerintahan presidensial merupakan salah satu bentuk dari klasifikasi pemerintahan yang demokratis selain system pemerintahan parlementer. Sistem presidensial menempatkan Presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan sekaligus, guna menjaga stabilitas pemerintahan yang sedang berjalan. Di Indonesia, teori pemisahan kekuasaan Montesquieu yang memisahkan kekuasaan Negara menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, atau yang disebut dengan Trias Politica ini digunakan oleh Panja Amandemen UUD 1945 yang dibentuk MPR sebagai landasan teoritis ketika melakukan perubahan terhadap system pemerintahan Negara Indonesia sebagaimana ditetapkan pada Pasal 1 ayat (2).
Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri Negara yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidangnya masing-masing. Dalam sistem presidensial, kabinet tidak bertanggung jawab secara kolektif, namun tiap-tiap menteri bertanggung jawab secara individual kepada presiden. Dalam system presidensial, anggota badan legislatif tidak boleh merangkap jabatan eksekutif, begitu pula sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif.
Presiden bertanggung jawab bukan kepada pemilih, tetapi pada Konstitusi. Dia dapat dijatuhkan apabila melanggar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan karena tidak dapat memenuhi janjinya saat kampanye pemilu. Eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang setara, sehingga Presiden dan badan perwakilan rakyat (DPR) tidak dapat saling menjatuhkan. Dalam teori sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap cabang lainnya sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the constitution. Cuma dalam prakteknya, legislatiflah yang nyatanya memegang kekuasaan lebih tinggi.

1.2. Rumusan Masalah

1.      Apakah sistem pemerintahan presidensial sudah cocok apabila diterapkan bersama dengan sistem kepartaian multipartai seperti di Indonesia?
2.      Bagaimanakah komposisi dan kondisi parlemen di Indonesia saat ini?
3.      Bagaimanakah komposisi ideal parlemen yang seharusnya diterapkan di Indonesia?






1.3. Tujuan

1.       Menganalisis apakah sistem pemerintahan presidensial sudah cocok apabila diterapkan bersama dengan sistem kepartaian multipartai seperti di Indonesia.
2.       Mengetahui komposisi dan kondisi parlemen di Indonesia saat ini.
3.       Mengetahui komposisi ideal parlemen yang seharusnya diterapkan di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Komposisi & Kondisi Parlemen (Saat ini)

Parlemen atau badan perwakilan rakyat (DPR) di Indonesia diisi oleh wakil-wakil rakyat yang berasal dari partai politik yang berbeda-beda, hal ini mungkin sesuai dengan kultur majemuk yang dimiliki bangsa Indonesia, sehingga memungkinkan munculnya aspirasi yang berbeda-beda dalam pembangunan bangsa Indonesia. Beragamnya partai politik yang menduduki kursi parlemen tidak lepas dari sistem kepartaian “multi partai” yang diadopsi Indonesia. Tetapi hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah efektif bila parlemen diisi dari berbagai macam parpol? Apakah tidak akan lebih banyak muncul kepentingan-kepentingan di antara elite dari parpol yang berbeda-beda? Dapatkah pemerintah menjaga stabilitasnya di parlemen dengan banyaknya kepentingan yang ada? Sistem kepartaian multi partai mungkin cocok dengan budaya demokrasi yang belakangan ini didengung-dengungkan oleh banyak pihak, dan mungkin juga cocok dengan keberagaman kultur budaya di Indonesia, namun apakah sistem pemerintahan yang sedang berjalan dapat melakukan kebijakan dan menjaga stabilitasnya jika partai politik berkuasa tidak mampu mendapatkan suara mutlak dari rakyat. Hal inilah yang saat ini sedang terjadi di Indonesia, ketika parpol berkuasa tidak mampu mendapatkan suara yang mutlak dari rakyat, yang terjadi adalah koalisi partai dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini jelas berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang pemerintah buat, karena kebijakan yang dibuat sudah tidak lagi berorientasi pada kepentingan rakyat, namun kepentingan para elite parpol itu sendiri.
Masalah yang paling gamblang terjadi di depan kita adalah ketika Presiden SBY akan mereshuffle kabinetnya, tarik ulur kepentingan dan penempatan menteri-menteri dari partai yang berada dalam koalisi jelas terjadi. Bukan ahli politik dan ahli pemerintahan yang diundang Presiden SBY saat akan mershuffle kabinetnya, melainkan para pemimpin-pemimpin partai yang ikut dalam koalisi partainya. Hal yang lucu terjadi, seperti pada saat sebuah parpol yang berada dalam koalisi parpol berkuasa mengancam akan keluar dari koalisi apabila jatah menteri-nya dikurangi. Dengan kejadian ini jelas bagi kita, bukan lagi kepentingan rakyat yang diutamakan oleh pemerintah, melainkan hanyalah kepentingan para elite yang berada dalam lingkar kekuasaan.
Dengan sistem multi partai, kemungkinan sebuah parpol mendapat suara mutlak dari rakyat semakin kecil, sehingga ketika parpol pemenang pemilu berkuasa, mereka tidak dapat menjalankan visi misi partai mereka sendiri sesuai ideologi yang parpol mereka miliki, melainkan harus membuat koalisi dengan parpol yang lainnya, yang menyebabkan visi misi yang akan mereka lakukan tidak dapat terlaksana karena harus sesuai dengan kepentingan bersama antar parpol yang berada dalam koalisi. Dengan semakin banyak partai, ideologi partai politik di masa sekarang ini juga patut dipertanyakan, ideologi yang menjadi ciri khas masing-masing partai pun mulai memudar, karena mereka tidak lagi berorientasi pada tujuan partai mereka, melainkan hanyalah bagaimana mereka bisa mendapatkan suara yang banyak dan kepentingan partai mereka terpenuhi.

2.2. Komposisi Ideal Parlemen

Menyikapi situasi yang terjadi ini, saya mencoba memberi pendapat tentang penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Dengan lebih sedikit partai politik yang duduk di parlemen, stabilitas pemerintahan yang sedang berjalan pun akan terjaga, hal ini disebabkan karena dengan semakin sedikit parpol yang menduduki kursi parlemen, maka semakin kecil pula kemungkinan terjadi koalisi antar partai. Hal tersebut dikarenakan kemungkinan masing-masing parpol untuk mendapat suara mayoritas dari rakyat akan semakin besar. Dan apabila koalisi tidak terjadi, maka parpol pemenang pemilu dapat menjalankan visi dan misi partainya yang sesuai ideologi partai politik mereka ketika berkuasa dan mengedepankan kepentingan rakyat, tanpa adanya pertimbangan kepentingan-kepentingan parpol yang lainnya. Apabila tidak ada tarik ulur kepentingan elite partai dalam parlemen, maka kepentingan rakyat pun dapat menjadi prioritas partai yang berkuasa.
Perlu diingat bahwa Negara kita menganut sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden menjadi kepala eksekutif. Jika presiden berasal dari partai pemenang pemilu yang mendapat suara mayoritas atau mutlak, pemerintahan pun akan sangat terjaga stabilitasnya. Pemerintah dapat dengan mudah membuat kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat, tanpa harus terlebih dahulu melakukan deal-deal politik ataupun kontrak politik dengan partai lainnya yang tentu berisi kepentingan para elite politik. Partai politik yang kalah dalam pemilu pun masih dapat menjalankan visi misi partainya yang mengedepankan kepentingan rakyat dengan menjadi oposisi pemerintahan. Mereka dapat melakukan pengawasan pemerintahan yang sedang berkuasa, sehingga roda pemerintahan tidak akan keluar dari jalurnya yang berorientasi pada rakyat.
Dalam penyederhanaan partai politik di parlemen, saya tidak akan membicarakan tentang perubahan system kepartaian multi partai menjadi sistem kepartaian dwi partai atau bahkan partai tunggal. Melainkan perubahan cara dalam menduduki kusi di parlemen (DPR), misal dengan (1) penaikan ambang batas suara untuk dapat menduduki suara di parlemen dan (2) dan pemilihan umum menggunakan sistem distrik.
Saat ini sudah muncul wacana di kalangan para elite tentang penaikan ambang batas suara guna menduduki kursi di parlemen DPR. Suatu wacana yang pasti menimbulkan pro dan kontra, partai politik besar sangat santai dalam menanggapi isu tersebut, hal sebaliknya terjadi pada partai-partai menengah dan partai-partai kecil, mereka seperti kebakaran jenggot ketika ditanya mengenai wacana tersebut. Tanpa ada maksud untuk memihak pada salah satu pihak, saya menyetujui wacana ini, karena dengan menaikkan ambang batas suara guna menduduki kursi parlemen dari 2,5% menjadi 4%, dapat mengurangi jumlah parpol yang berada di parlemen. Dan dengan semakin sedikit parpol yang berada di parlemen, dan dengan adanya parpol dengan suara mayoritas di parlemen, sangat memungkinkan jalannya pemerintahan yang berpihak pada kepentingan rakyat, karena tidak akan ada lagi koalisi antar partai yang sarat akan kepentingan elite. Dan partai-partai yang kalah dalam pemilu, yang menduduki parlemen dapat menjadi pengawas jalannya pemerintahan.
Pemilihan umum dengan menggunakan sistem distrik pun dapat menjadi alternatif dalam proses pemilihan kedepan. Sistem distrik memungkinkan rakyat memilih langsung individu yang dipercayainya untuk menduduki kursi legislatif. Dalam sistem distrik rakyat memilih orang, bukan memilih partai. Rakyat dapat mengontrol langsung wakil yang mereka pilih. Akibatnya, wakil rakyat harus memberikan pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat, bukan kepada partai. Sehingga, wakil rakyat memiliki akuntabilitas politik yang tinggi. Dengan demikian, situasi yang mungkin timbul adalah anggota legislatif akan lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan partainya, sebab posisinya di parlemen akan sangat ditentukan oleh rakyat yang dia wakili, bukan oleh partai tempat dia bergabung. Sayangnya, realitas politik yang saat ini terjadi di parlemen menunjukkan bahwa sistem ini tidak akan dipakai. Para anggota DPR yang membahas RUU Pemilu ternyata lebih memilih menggunakan sistem proporsional seperti yang digunakan di masa Orde Baru. Dengan sistem ini, berarti rakyat harus memilih partai, bukan memilih orang. Penentuan individu yang duduk dalam kursi legislatif ditentukan oleh partai. Jadi, pertanggungjawaban politik anggota legislatif nantinya kepada partai, bukan kepada rakyat. Sehingga, kemungkinan munculnya sikap mementingkan kelompok amat besar terjadi. Keputusan Pansus RUU Pemilu ini sebenarnya keputusan yang jauh mundur ke belakang. Di saat rakyat menginginkan sebuah sistem yang memungkinkan rakyat mengontrol langsung jalannya kekuasaan, ternyata para wakil rakyat malah menginginkan sebuah sistem yang dapat melepaskannya dari pertanggunjawaban langsung kepada rakyat. Ini menandakan bahwa para anggota DPR lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada mengutamakan kepentingan rakyat yang memilihnya.
            Sistem rekrutmen yang dilakukan partai politik dalam mencari calon wakil rakyat pun menjadi salah satu penyebab kurang maksimalnya kinerja wakil rakyat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap individu dapat menyalonkan diri sebagai calon pemimpin ataupun wakil rakyat dengan membayar sejumlah uang kepada parpol tertentu, hal ini menyebabkan partai politik hanya menjadi kendaraan politik dan bukan menjadi tempat pengkaderan anak bangsa. Dengan sistem rekrutmen semacam ini, para wakil rakyat terpilih pun diragukan kapasitasnya sebagai pembuat kebijakan dan keputusan, apakah keputusannya beroriantasi pada rakyat atau malah pada kepentingan pribadi yang bertujuan agar uang yang dibayarkannya kepada partai politik saat dia menyalonkan diri sebagai wakil rakyat dapat kembali.
            Transparansi sistem perekrutan perlu dilakukan oleh setiap parpol agar masyarakat mengetahui seluk-beluk calon wakil rakyat yang akan mereka pilih. Sistem yang di Amerika disebut sistem demokrasi berbagi, suatu sistem yang memberi informasi tentang latar belakang dari setiap calon wakil rakyat. Dengan melakukan sistem ini, maka wakil rakyat yang terpilih adalah wakil rakyat yang benar-benar berkompeten.
            Memang, untuk membangun semua ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, banyak rintangan yang menghadang. Rintangan itu terutama berasal dari diri rakyat Indonesia sendiri. Apabila rakyat tetap mengekspresikan kebebasannya di era reformasi ini dengan lebih mementingkan kelompoknya, maka format ideal demokrasi Indonesia akan jauh dari harapan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari seluruh elemen bangsa untuk melihat suatu persoalan dalam perspektif kerakyatan dan kebangsaan, bukan dalam perspektif kelompok maupun golongan. Dengan sikap demikian, masa depan yang cerah bagi kehidupan demokratisasi di Indonesia akan dapat tercapai. Sebagai masyarakat Indonesia yang prihatin terhadap kondisi pemerintahan dan perpolitikan Indonesia. Pemikiran-pemikiran dari seluruh rakyat Indonesia sangat diperlukan untuk menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.
Untuk para anggota dewan yang merupakan representasi dari rakyat, emban tugasmu dengan penuh tanggung jawab dan profesionalisme. HIDUP MAHASISWA!!!



            BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sistem pemerintahan presidensial apabila disandingkan dengan sistem kepartaian multipartai sama dengan “pemakzulan”, itulah yang kiranya terjadi di Indonesia saat ini. Multipartai dapat meminimalkan peran dari presiden dalam mengambil keputusan, terlebih dalam sistem pemerintahan Indonesia saat ini yang terkesan abu-abu, yakni menganut sistem pemerintahan presidensial tapi dalam prakteknya lebih condong ke sistem pemerintahan parlementer.
Segala kebijakan yang ingin dibuat oleh presiden harus mendapat persetujuan dari parlemen atau DPR. Posisi antara presiden dengan DPR yang setara atau sejajar setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 membuat sistem presidensial di Indonesia menjadi ambigu. Bahkan pada saat ini kedudukan DPR/Parlemen terkesan lebih dominan dibandingkan dengan alat/lembaga negara lainnya termasuk Presiden. Kondisi inilah yang member kesan bahwa Indonesia lebih condong menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut untuk menjaga stabilitas pemerintahan Indonesia. Harus diberlakukan regulasi baru guna memperkuat kedudukan Presiden karena sebenarnya Indonesia dalam konstitusi menganut sistem pemerintahan presidensial.

Saran
            Menurut pendapat saya, penyederhanaan partai di dalam parlemen harus dilakukan. Ini bisa dilaksanakan dengan membuat regulasi-regulasi baru seperti menaikkan ambang batas parlemen, menggunakan sistem distrik, menggunakan formulasi penghitungan pemilu yang lebih efektif, dan lain sebagainya. Penyederhanaan partai dalam parlemen saya anggap penting karena melihat keadaan parlemen saat ini tidak adanya partai yang dominan membuat kondisi perpolitikan Indonesia menjadi tidak stabil.
            Partai pemenang pemilu yang mengusung presiden saat ini pun harus membuat koalisi antar partai politik dalam membuat kebijakan. Dalam koalisi parpol ini pastilah kental terjadi tarik ulur kepentingan antar parpol di dalam koalisi. Dengan disederhanakannya partai politik di parlemen maka kemungkinan munculnya partai dominan akan semakin besar. Dan apabila partai pemenang pemilu dapat memperoleh suara dominan dan mendapat kursi dalam jumlah besar, partai tersebut tidak perlu membuat koalisi antar parpol setiap ingin mengambil keputusan, sehingga keputusan yang dibuat merupakan representasi dari tujuan partai dan keinginan rakyat yang diperjuangkan sesuai dengan ideology partai. Inilah yang menyebabkan mengapa penyederhanaan partai politik di dalam parlemen saya anggap perlu.



DAFTAR PUSTAKA

            www.wikipedia.com diunduh pada tanggal 10 Juni 2012, pukul 19:30