Rabu, 11 September 2013

Format Ideal Parlemen di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Sebuah tulisan yang berawal dari ide ataupun gambaran penulis mengenai “keadaan parlemen di Indonesia”. Boleh setuju ataupun tidak. Perbedaan pendapat dan pikiran justru yang penulis harapkan. Pemikiran-pemikiran brillian dari para pembaca untuk bersama-sama mencari sebuah “format ideal parlemen bagi Indonesia” sangat dibutuhkan penulis guna membangun Indonesia yang lebih baik.

1.1. Latar Belakang
Jati diri suatu bangsa bukan saja dapat kita lihat dari bagaimana karakter pokok dari warga bangsa, tetapi juga pilihan ideologi dan sistem pemerintahan yang dipilih oleh bangsa tersebut. Sistem pemerintahan demokratis-kontitusional bangsa kita telah dirancang oleh the founding fathers dalam UUD 1945. MPR-RI periode 1999-2004 yang telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali hanya dalam waktu 2 tahun pun telah menetapkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan Negara.
Sebelum mengulas lebih lanjut, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang system Presidensial. Sistem pemerintahan presidensial merupakan salah satu bentuk dari klasifikasi pemerintahan yang demokratis selain system pemerintahan parlementer. Sistem presidensial menempatkan Presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan sekaligus, guna menjaga stabilitas pemerintahan yang sedang berjalan. Di Indonesia, teori pemisahan kekuasaan Montesquieu yang memisahkan kekuasaan Negara menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, atau yang disebut dengan Trias Politica ini digunakan oleh Panja Amandemen UUD 1945 yang dibentuk MPR sebagai landasan teoritis ketika melakukan perubahan terhadap system pemerintahan Negara Indonesia sebagaimana ditetapkan pada Pasal 1 ayat (2).
Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri Negara yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidangnya masing-masing. Dalam sistem presidensial, kabinet tidak bertanggung jawab secara kolektif, namun tiap-tiap menteri bertanggung jawab secara individual kepada presiden. Dalam system presidensial, anggota badan legislatif tidak boleh merangkap jabatan eksekutif, begitu pula sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif.
Presiden bertanggung jawab bukan kepada pemilih, tetapi pada Konstitusi. Dia dapat dijatuhkan apabila melanggar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan karena tidak dapat memenuhi janjinya saat kampanye pemilu. Eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang setara, sehingga Presiden dan badan perwakilan rakyat (DPR) tidak dapat saling menjatuhkan. Dalam teori sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap cabang lainnya sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the constitution. Cuma dalam prakteknya, legislatiflah yang nyatanya memegang kekuasaan lebih tinggi.

1.2. Rumusan Masalah

1.      Apakah sistem pemerintahan presidensial sudah cocok apabila diterapkan bersama dengan sistem kepartaian multipartai seperti di Indonesia?
2.      Bagaimanakah komposisi dan kondisi parlemen di Indonesia saat ini?
3.      Bagaimanakah komposisi ideal parlemen yang seharusnya diterapkan di Indonesia?






1.3. Tujuan

1.       Menganalisis apakah sistem pemerintahan presidensial sudah cocok apabila diterapkan bersama dengan sistem kepartaian multipartai seperti di Indonesia.
2.       Mengetahui komposisi dan kondisi parlemen di Indonesia saat ini.
3.       Mengetahui komposisi ideal parlemen yang seharusnya diterapkan di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Komposisi & Kondisi Parlemen (Saat ini)

Parlemen atau badan perwakilan rakyat (DPR) di Indonesia diisi oleh wakil-wakil rakyat yang berasal dari partai politik yang berbeda-beda, hal ini mungkin sesuai dengan kultur majemuk yang dimiliki bangsa Indonesia, sehingga memungkinkan munculnya aspirasi yang berbeda-beda dalam pembangunan bangsa Indonesia. Beragamnya partai politik yang menduduki kursi parlemen tidak lepas dari sistem kepartaian “multi partai” yang diadopsi Indonesia. Tetapi hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah efektif bila parlemen diisi dari berbagai macam parpol? Apakah tidak akan lebih banyak muncul kepentingan-kepentingan di antara elite dari parpol yang berbeda-beda? Dapatkah pemerintah menjaga stabilitasnya di parlemen dengan banyaknya kepentingan yang ada? Sistem kepartaian multi partai mungkin cocok dengan budaya demokrasi yang belakangan ini didengung-dengungkan oleh banyak pihak, dan mungkin juga cocok dengan keberagaman kultur budaya di Indonesia, namun apakah sistem pemerintahan yang sedang berjalan dapat melakukan kebijakan dan menjaga stabilitasnya jika partai politik berkuasa tidak mampu mendapatkan suara mutlak dari rakyat. Hal inilah yang saat ini sedang terjadi di Indonesia, ketika parpol berkuasa tidak mampu mendapatkan suara yang mutlak dari rakyat, yang terjadi adalah koalisi partai dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini jelas berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang pemerintah buat, karena kebijakan yang dibuat sudah tidak lagi berorientasi pada kepentingan rakyat, namun kepentingan para elite parpol itu sendiri.
Masalah yang paling gamblang terjadi di depan kita adalah ketika Presiden SBY akan mereshuffle kabinetnya, tarik ulur kepentingan dan penempatan menteri-menteri dari partai yang berada dalam koalisi jelas terjadi. Bukan ahli politik dan ahli pemerintahan yang diundang Presiden SBY saat akan mershuffle kabinetnya, melainkan para pemimpin-pemimpin partai yang ikut dalam koalisi partainya. Hal yang lucu terjadi, seperti pada saat sebuah parpol yang berada dalam koalisi parpol berkuasa mengancam akan keluar dari koalisi apabila jatah menteri-nya dikurangi. Dengan kejadian ini jelas bagi kita, bukan lagi kepentingan rakyat yang diutamakan oleh pemerintah, melainkan hanyalah kepentingan para elite yang berada dalam lingkar kekuasaan.
Dengan sistem multi partai, kemungkinan sebuah parpol mendapat suara mutlak dari rakyat semakin kecil, sehingga ketika parpol pemenang pemilu berkuasa, mereka tidak dapat menjalankan visi misi partai mereka sendiri sesuai ideologi yang parpol mereka miliki, melainkan harus membuat koalisi dengan parpol yang lainnya, yang menyebabkan visi misi yang akan mereka lakukan tidak dapat terlaksana karena harus sesuai dengan kepentingan bersama antar parpol yang berada dalam koalisi. Dengan semakin banyak partai, ideologi partai politik di masa sekarang ini juga patut dipertanyakan, ideologi yang menjadi ciri khas masing-masing partai pun mulai memudar, karena mereka tidak lagi berorientasi pada tujuan partai mereka, melainkan hanyalah bagaimana mereka bisa mendapatkan suara yang banyak dan kepentingan partai mereka terpenuhi.

2.2. Komposisi Ideal Parlemen

Menyikapi situasi yang terjadi ini, saya mencoba memberi pendapat tentang penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Dengan lebih sedikit partai politik yang duduk di parlemen, stabilitas pemerintahan yang sedang berjalan pun akan terjaga, hal ini disebabkan karena dengan semakin sedikit parpol yang menduduki kursi parlemen, maka semakin kecil pula kemungkinan terjadi koalisi antar partai. Hal tersebut dikarenakan kemungkinan masing-masing parpol untuk mendapat suara mayoritas dari rakyat akan semakin besar. Dan apabila koalisi tidak terjadi, maka parpol pemenang pemilu dapat menjalankan visi dan misi partainya yang sesuai ideologi partai politik mereka ketika berkuasa dan mengedepankan kepentingan rakyat, tanpa adanya pertimbangan kepentingan-kepentingan parpol yang lainnya. Apabila tidak ada tarik ulur kepentingan elite partai dalam parlemen, maka kepentingan rakyat pun dapat menjadi prioritas partai yang berkuasa.
Perlu diingat bahwa Negara kita menganut sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden menjadi kepala eksekutif. Jika presiden berasal dari partai pemenang pemilu yang mendapat suara mayoritas atau mutlak, pemerintahan pun akan sangat terjaga stabilitasnya. Pemerintah dapat dengan mudah membuat kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat, tanpa harus terlebih dahulu melakukan deal-deal politik ataupun kontrak politik dengan partai lainnya yang tentu berisi kepentingan para elite politik. Partai politik yang kalah dalam pemilu pun masih dapat menjalankan visi misi partainya yang mengedepankan kepentingan rakyat dengan menjadi oposisi pemerintahan. Mereka dapat melakukan pengawasan pemerintahan yang sedang berkuasa, sehingga roda pemerintahan tidak akan keluar dari jalurnya yang berorientasi pada rakyat.
Dalam penyederhanaan partai politik di parlemen, saya tidak akan membicarakan tentang perubahan system kepartaian multi partai menjadi sistem kepartaian dwi partai atau bahkan partai tunggal. Melainkan perubahan cara dalam menduduki kusi di parlemen (DPR), misal dengan (1) penaikan ambang batas suara untuk dapat menduduki suara di parlemen dan (2) dan pemilihan umum menggunakan sistem distrik.
Saat ini sudah muncul wacana di kalangan para elite tentang penaikan ambang batas suara guna menduduki kursi di parlemen DPR. Suatu wacana yang pasti menimbulkan pro dan kontra, partai politik besar sangat santai dalam menanggapi isu tersebut, hal sebaliknya terjadi pada partai-partai menengah dan partai-partai kecil, mereka seperti kebakaran jenggot ketika ditanya mengenai wacana tersebut. Tanpa ada maksud untuk memihak pada salah satu pihak, saya menyetujui wacana ini, karena dengan menaikkan ambang batas suara guna menduduki kursi parlemen dari 2,5% menjadi 4%, dapat mengurangi jumlah parpol yang berada di parlemen. Dan dengan semakin sedikit parpol yang berada di parlemen, dan dengan adanya parpol dengan suara mayoritas di parlemen, sangat memungkinkan jalannya pemerintahan yang berpihak pada kepentingan rakyat, karena tidak akan ada lagi koalisi antar partai yang sarat akan kepentingan elite. Dan partai-partai yang kalah dalam pemilu, yang menduduki parlemen dapat menjadi pengawas jalannya pemerintahan.
Pemilihan umum dengan menggunakan sistem distrik pun dapat menjadi alternatif dalam proses pemilihan kedepan. Sistem distrik memungkinkan rakyat memilih langsung individu yang dipercayainya untuk menduduki kursi legislatif. Dalam sistem distrik rakyat memilih orang, bukan memilih partai. Rakyat dapat mengontrol langsung wakil yang mereka pilih. Akibatnya, wakil rakyat harus memberikan pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat, bukan kepada partai. Sehingga, wakil rakyat memiliki akuntabilitas politik yang tinggi. Dengan demikian, situasi yang mungkin timbul adalah anggota legislatif akan lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan partainya, sebab posisinya di parlemen akan sangat ditentukan oleh rakyat yang dia wakili, bukan oleh partai tempat dia bergabung. Sayangnya, realitas politik yang saat ini terjadi di parlemen menunjukkan bahwa sistem ini tidak akan dipakai. Para anggota DPR yang membahas RUU Pemilu ternyata lebih memilih menggunakan sistem proporsional seperti yang digunakan di masa Orde Baru. Dengan sistem ini, berarti rakyat harus memilih partai, bukan memilih orang. Penentuan individu yang duduk dalam kursi legislatif ditentukan oleh partai. Jadi, pertanggungjawaban politik anggota legislatif nantinya kepada partai, bukan kepada rakyat. Sehingga, kemungkinan munculnya sikap mementingkan kelompok amat besar terjadi. Keputusan Pansus RUU Pemilu ini sebenarnya keputusan yang jauh mundur ke belakang. Di saat rakyat menginginkan sebuah sistem yang memungkinkan rakyat mengontrol langsung jalannya kekuasaan, ternyata para wakil rakyat malah menginginkan sebuah sistem yang dapat melepaskannya dari pertanggunjawaban langsung kepada rakyat. Ini menandakan bahwa para anggota DPR lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada mengutamakan kepentingan rakyat yang memilihnya.
            Sistem rekrutmen yang dilakukan partai politik dalam mencari calon wakil rakyat pun menjadi salah satu penyebab kurang maksimalnya kinerja wakil rakyat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap individu dapat menyalonkan diri sebagai calon pemimpin ataupun wakil rakyat dengan membayar sejumlah uang kepada parpol tertentu, hal ini menyebabkan partai politik hanya menjadi kendaraan politik dan bukan menjadi tempat pengkaderan anak bangsa. Dengan sistem rekrutmen semacam ini, para wakil rakyat terpilih pun diragukan kapasitasnya sebagai pembuat kebijakan dan keputusan, apakah keputusannya beroriantasi pada rakyat atau malah pada kepentingan pribadi yang bertujuan agar uang yang dibayarkannya kepada partai politik saat dia menyalonkan diri sebagai wakil rakyat dapat kembali.
            Transparansi sistem perekrutan perlu dilakukan oleh setiap parpol agar masyarakat mengetahui seluk-beluk calon wakil rakyat yang akan mereka pilih. Sistem yang di Amerika disebut sistem demokrasi berbagi, suatu sistem yang memberi informasi tentang latar belakang dari setiap calon wakil rakyat. Dengan melakukan sistem ini, maka wakil rakyat yang terpilih adalah wakil rakyat yang benar-benar berkompeten.
            Memang, untuk membangun semua ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, banyak rintangan yang menghadang. Rintangan itu terutama berasal dari diri rakyat Indonesia sendiri. Apabila rakyat tetap mengekspresikan kebebasannya di era reformasi ini dengan lebih mementingkan kelompoknya, maka format ideal demokrasi Indonesia akan jauh dari harapan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari seluruh elemen bangsa untuk melihat suatu persoalan dalam perspektif kerakyatan dan kebangsaan, bukan dalam perspektif kelompok maupun golongan. Dengan sikap demikian, masa depan yang cerah bagi kehidupan demokratisasi di Indonesia akan dapat tercapai. Sebagai masyarakat Indonesia yang prihatin terhadap kondisi pemerintahan dan perpolitikan Indonesia. Pemikiran-pemikiran dari seluruh rakyat Indonesia sangat diperlukan untuk menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.
Untuk para anggota dewan yang merupakan representasi dari rakyat, emban tugasmu dengan penuh tanggung jawab dan profesionalisme. HIDUP MAHASISWA!!!



            BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sistem pemerintahan presidensial apabila disandingkan dengan sistem kepartaian multipartai sama dengan “pemakzulan”, itulah yang kiranya terjadi di Indonesia saat ini. Multipartai dapat meminimalkan peran dari presiden dalam mengambil keputusan, terlebih dalam sistem pemerintahan Indonesia saat ini yang terkesan abu-abu, yakni menganut sistem pemerintahan presidensial tapi dalam prakteknya lebih condong ke sistem pemerintahan parlementer.
Segala kebijakan yang ingin dibuat oleh presiden harus mendapat persetujuan dari parlemen atau DPR. Posisi antara presiden dengan DPR yang setara atau sejajar setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 membuat sistem presidensial di Indonesia menjadi ambigu. Bahkan pada saat ini kedudukan DPR/Parlemen terkesan lebih dominan dibandingkan dengan alat/lembaga negara lainnya termasuk Presiden. Kondisi inilah yang member kesan bahwa Indonesia lebih condong menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut untuk menjaga stabilitas pemerintahan Indonesia. Harus diberlakukan regulasi baru guna memperkuat kedudukan Presiden karena sebenarnya Indonesia dalam konstitusi menganut sistem pemerintahan presidensial.

Saran
            Menurut pendapat saya, penyederhanaan partai di dalam parlemen harus dilakukan. Ini bisa dilaksanakan dengan membuat regulasi-regulasi baru seperti menaikkan ambang batas parlemen, menggunakan sistem distrik, menggunakan formulasi penghitungan pemilu yang lebih efektif, dan lain sebagainya. Penyederhanaan partai dalam parlemen saya anggap penting karena melihat keadaan parlemen saat ini tidak adanya partai yang dominan membuat kondisi perpolitikan Indonesia menjadi tidak stabil.
            Partai pemenang pemilu yang mengusung presiden saat ini pun harus membuat koalisi antar partai politik dalam membuat kebijakan. Dalam koalisi parpol ini pastilah kental terjadi tarik ulur kepentingan antar parpol di dalam koalisi. Dengan disederhanakannya partai politik di parlemen maka kemungkinan munculnya partai dominan akan semakin besar. Dan apabila partai pemenang pemilu dapat memperoleh suara dominan dan mendapat kursi dalam jumlah besar, partai tersebut tidak perlu membuat koalisi antar parpol setiap ingin mengambil keputusan, sehingga keputusan yang dibuat merupakan representasi dari tujuan partai dan keinginan rakyat yang diperjuangkan sesuai dengan ideology partai. Inilah yang menyebabkan mengapa penyederhanaan partai politik di dalam parlemen saya anggap perlu.



DAFTAR PUSTAKA

            www.wikipedia.com diunduh pada tanggal 10 Juni 2012, pukul 19:30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar