BAB I
PENDAHULUAN
Sebuah tulisan yang berawal dari
ide ataupun gambaran penulis mengenai “keadaan parlemen di Indonesia”. Boleh
setuju ataupun tidak. Perbedaan pendapat dan pikiran justru yang penulis
harapkan. Pemikiran-pemikiran brillian dari para pembaca untuk bersama-sama
mencari sebuah “format ideal parlemen bagi Indonesia” sangat dibutuhkan penulis
guna membangun Indonesia yang lebih baik.
1.1. Latar Belakang
Jati
diri suatu bangsa bukan saja dapat kita lihat dari bagaimana karakter pokok
dari warga bangsa, tetapi juga pilihan ideologi dan sistem pemerintahan yang
dipilih oleh bangsa tersebut. Sistem pemerintahan demokratis-kontitusional
bangsa kita telah dirancang oleh the founding fathers dalam UUD 1945. MPR-RI
periode 1999-2004 yang telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali hanya dalam
waktu 2 tahun pun telah menetapkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem
pemerintahan Negara.
Sebelum
mengulas lebih lanjut, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang system
Presidensial. Sistem pemerintahan presidensial merupakan salah satu bentuk dari
klasifikasi pemerintahan yang demokratis selain system pemerintahan
parlementer. Sistem presidensial menempatkan Presiden sebagai kepala Negara dan
kepala pemerintahan sekaligus, guna menjaga stabilitas pemerintahan yang sedang
berjalan. Di Indonesia, teori pemisahan kekuasaan Montesquieu yang memisahkan
kekuasaan Negara menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, atau
yang disebut dengan Trias Politica ini digunakan oleh Panja Amandemen UUD 1945
yang dibentuk MPR sebagai landasan teoritis ketika melakukan perubahan terhadap
system pemerintahan Negara Indonesia sebagaimana ditetapkan pada Pasal 1 ayat
(2).
Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala
eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri Negara yang
berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidangnya
masing-masing. Dalam sistem presidensial, kabinet tidak bertanggung jawab
secara kolektif, namun tiap-tiap menteri bertanggung jawab secara individual
kepada presiden. Dalam system presidensial, anggota badan legislatif tidak
boleh merangkap jabatan eksekutif, begitu pula sebaliknya, pejabat eksekutif
tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif.
Presiden bertanggung jawab bukan kepada pemilih,
tetapi pada Konstitusi. Dia dapat dijatuhkan apabila melanggar konstitusi,
tetapi tidak dapat diturunkan karena tidak dapat memenuhi janjinya saat
kampanye pemilu. Eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang setara,
sehingga Presiden dan badan perwakilan rakyat (DPR) tidak dapat saling
menjatuhkan. Dalam teori sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi
satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing
kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap
cabang lainnya sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the constitution. Cuma
dalam prakteknya, legislatiflah yang nyatanya memegang kekuasaan lebih tinggi.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah
sistem pemerintahan presidensial sudah cocok apabila diterapkan bersama dengan
sistem kepartaian multipartai seperti di Indonesia?
2. Bagaimanakah
komposisi dan kondisi parlemen di Indonesia saat ini?
3. Bagaimanakah
komposisi ideal parlemen yang seharusnya diterapkan di Indonesia?
1.3. Tujuan
1. Menganalisis
apakah sistem pemerintahan presidensial sudah cocok apabila diterapkan bersama
dengan sistem kepartaian multipartai seperti di Indonesia.
2. Mengetahui
komposisi dan kondisi parlemen di Indonesia saat ini.
3. Mengetahui
komposisi ideal parlemen yang seharusnya diterapkan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Komposisi & Kondisi Parlemen
(Saat ini)
Parlemen atau badan perwakilan rakyat (DPR) di
Indonesia diisi oleh wakil-wakil rakyat yang berasal dari partai politik yang
berbeda-beda, hal ini mungkin sesuai dengan kultur majemuk yang dimiliki bangsa
Indonesia, sehingga memungkinkan munculnya aspirasi yang berbeda-beda dalam
pembangunan bangsa Indonesia. Beragamnya partai politik yang menduduki kursi
parlemen tidak lepas dari sistem kepartaian “multi partai” yang diadopsi
Indonesia. Tetapi hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah efektif bila parlemen diisi dari
berbagai macam parpol? Apakah tidak akan lebih banyak muncul
kepentingan-kepentingan di antara elite dari parpol yang berbeda-beda? Dapatkah
pemerintah menjaga stabilitasnya di parlemen dengan banyaknya kepentingan yang
ada? Sistem kepartaian multi partai mungkin cocok dengan budaya demokrasi
yang belakangan ini didengung-dengungkan oleh banyak pihak, dan mungkin juga
cocok dengan keberagaman kultur budaya di Indonesia, namun apakah sistem
pemerintahan yang sedang berjalan dapat melakukan kebijakan dan menjaga
stabilitasnya jika partai politik berkuasa tidak mampu mendapatkan suara mutlak
dari rakyat. Hal inilah yang saat ini sedang terjadi di Indonesia, ketika
parpol berkuasa tidak mampu mendapatkan suara yang mutlak dari rakyat, yang
terjadi adalah koalisi partai dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini
jelas berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang pemerintah buat, karena
kebijakan yang dibuat sudah tidak lagi berorientasi pada kepentingan rakyat,
namun kepentingan para elite parpol itu sendiri.
Masalah yang paling gamblang terjadi di depan kita
adalah ketika Presiden SBY akan mereshuffle kabinetnya, tarik ulur kepentingan
dan penempatan menteri-menteri dari partai yang berada dalam koalisi jelas
terjadi. Bukan ahli politik dan ahli pemerintahan yang diundang Presiden SBY
saat akan mershuffle kabinetnya, melainkan para pemimpin-pemimpin partai yang
ikut dalam koalisi partainya. Hal yang lucu terjadi, seperti pada saat sebuah
parpol yang berada dalam koalisi parpol berkuasa mengancam akan keluar dari
koalisi apabila jatah menteri-nya dikurangi. Dengan kejadian ini jelas bagi
kita, bukan lagi kepentingan rakyat yang diutamakan oleh pemerintah, melainkan
hanyalah kepentingan para elite yang berada dalam lingkar kekuasaan.
Dengan sistem multi partai, kemungkinan sebuah
parpol mendapat suara mutlak dari rakyat semakin kecil, sehingga ketika parpol
pemenang pemilu berkuasa, mereka tidak dapat menjalankan visi misi partai
mereka sendiri sesuai ideologi yang parpol mereka miliki, melainkan harus
membuat koalisi dengan parpol yang lainnya, yang menyebabkan visi misi yang
akan mereka lakukan tidak dapat terlaksana karena harus sesuai dengan
kepentingan bersama antar parpol yang berada dalam koalisi. Dengan semakin
banyak partai, ideologi partai politik di masa sekarang ini juga patut
dipertanyakan, ideologi yang menjadi ciri khas masing-masing partai pun mulai
memudar, karena mereka tidak lagi berorientasi pada tujuan partai mereka,
melainkan hanyalah bagaimana mereka bisa mendapatkan suara yang banyak dan
kepentingan partai mereka terpenuhi.
2.2. Komposisi Ideal Parlemen
Menyikapi situasi yang terjadi ini, saya mencoba
memberi pendapat tentang penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Dengan
lebih sedikit partai politik yang duduk di parlemen, stabilitas pemerintahan
yang sedang berjalan pun akan terjaga, hal ini disebabkan karena dengan semakin
sedikit parpol yang menduduki kursi parlemen, maka semakin kecil pula kemungkinan
terjadi koalisi antar partai. Hal tersebut dikarenakan kemungkinan
masing-masing parpol untuk mendapat suara mayoritas dari rakyat akan semakin
besar. Dan apabila koalisi tidak terjadi, maka parpol pemenang pemilu dapat
menjalankan visi dan misi partainya yang sesuai ideologi partai politik mereka
ketika berkuasa dan mengedepankan kepentingan rakyat, tanpa adanya pertimbangan
kepentingan-kepentingan parpol yang lainnya. Apabila tidak ada tarik ulur
kepentingan elite partai dalam parlemen, maka kepentingan rakyat pun dapat
menjadi prioritas partai yang berkuasa.
Perlu diingat bahwa Negara kita menganut sistem
pemerintahan presidensial, dimana presiden menjadi kepala eksekutif. Jika
presiden berasal dari partai pemenang pemilu yang mendapat suara mayoritas atau
mutlak, pemerintahan pun akan sangat terjaga stabilitasnya. Pemerintah dapat
dengan mudah membuat kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat, tanpa
harus terlebih dahulu melakukan deal-deal politik ataupun kontrak politik
dengan partai lainnya yang tentu berisi kepentingan para elite politik. Partai
politik yang kalah dalam pemilu pun masih dapat menjalankan visi misi partainya
yang mengedepankan kepentingan rakyat dengan menjadi oposisi pemerintahan.
Mereka dapat melakukan pengawasan pemerintahan yang sedang berkuasa, sehingga
roda pemerintahan tidak akan keluar dari jalurnya yang berorientasi pada rakyat.
Dalam penyederhanaan partai politik di parlemen,
saya tidak akan membicarakan tentang perubahan system kepartaian multi partai
menjadi sistem kepartaian dwi partai atau bahkan partai tunggal. Melainkan
perubahan cara dalam menduduki kusi di parlemen (DPR), misal dengan (1)
penaikan ambang batas suara untuk dapat menduduki suara di parlemen dan (2) dan
pemilihan umum menggunakan sistem distrik.
Saat ini sudah muncul wacana di kalangan para elite
tentang penaikan ambang batas suara guna menduduki kursi di parlemen DPR. Suatu
wacana yang pasti menimbulkan pro dan kontra, partai politik besar sangat
santai dalam menanggapi isu tersebut, hal sebaliknya terjadi pada partai-partai
menengah dan partai-partai kecil, mereka seperti kebakaran jenggot ketika
ditanya mengenai wacana tersebut. Tanpa ada maksud untuk memihak pada salah
satu pihak, saya menyetujui wacana ini, karena dengan menaikkan ambang batas
suara guna menduduki kursi parlemen dari 2,5% menjadi 4%, dapat mengurangi
jumlah parpol yang berada di parlemen. Dan dengan semakin sedikit parpol yang
berada di parlemen, dan dengan adanya parpol dengan suara mayoritas di parlemen,
sangat memungkinkan jalannya pemerintahan yang berpihak pada kepentingan
rakyat, karena tidak akan ada lagi koalisi antar partai yang sarat akan
kepentingan elite. Dan partai-partai yang kalah dalam pemilu, yang menduduki
parlemen dapat menjadi pengawas jalannya pemerintahan.
Pemilihan umum dengan
menggunakan sistem distrik pun dapat menjadi alternatif dalam proses pemilihan
kedepan. Sistem distrik memungkinkan rakyat memilih langsung
individu yang dipercayainya untuk menduduki kursi legislatif. Dalam sistem
distrik rakyat memilih orang, bukan memilih partai. Rakyat dapat mengontrol
langsung wakil yang mereka pilih. Akibatnya, wakil rakyat harus memberikan
pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat, bukan kepada partai.
Sehingga, wakil rakyat memiliki akuntabilitas politik yang tinggi. Dengan
demikian, situasi yang mungkin timbul adalah anggota legislatif akan lebih
mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan partainya, sebab posisinya
di parlemen akan sangat ditentukan oleh rakyat yang dia wakili, bukan oleh
partai tempat dia bergabung. Sayangnya, realitas politik yang saat ini terjadi
di parlemen menunjukkan bahwa sistem ini tidak akan dipakai. Para anggota DPR
yang membahas RUU Pemilu ternyata lebih memilih menggunakan sistem proporsional
seperti yang digunakan di masa Orde Baru. Dengan sistem ini, berarti rakyat
harus memilih partai, bukan memilih orang. Penentuan individu yang duduk dalam
kursi legislatif ditentukan oleh partai. Jadi, pertanggungjawaban politik
anggota legislatif nantinya kepada partai, bukan kepada rakyat. Sehingga,
kemungkinan munculnya sikap mementingkan kelompok amat besar terjadi. Keputusan
Pansus RUU Pemilu ini sebenarnya keputusan yang jauh mundur ke belakang. Di
saat rakyat menginginkan sebuah sistem yang memungkinkan rakyat mengontrol
langsung jalannya kekuasaan, ternyata para wakil rakyat malah menginginkan
sebuah sistem yang dapat melepaskannya dari pertanggunjawaban langsung kepada
rakyat. Ini menandakan bahwa para anggota DPR lebih mengutamakan kepentingannya
sendiri daripada mengutamakan kepentingan rakyat yang memilihnya.
Sistem
rekrutmen yang dilakukan partai politik dalam mencari calon wakil rakyat pun
menjadi salah satu penyebab kurang maksimalnya kinerja wakil rakyat. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa setiap individu dapat menyalonkan diri sebagai calon
pemimpin ataupun wakil rakyat dengan membayar sejumlah uang kepada parpol
tertentu, hal ini menyebabkan partai politik hanya menjadi kendaraan politik
dan bukan menjadi tempat pengkaderan anak bangsa. Dengan sistem rekrutmen
semacam ini, para wakil rakyat terpilih pun diragukan kapasitasnya sebagai
pembuat kebijakan dan keputusan, apakah keputusannya beroriantasi pada rakyat
atau malah pada kepentingan pribadi yang bertujuan agar uang yang dibayarkannya
kepada partai politik saat dia menyalonkan diri sebagai wakil rakyat dapat
kembali.
Transparansi
sistem perekrutan perlu dilakukan oleh setiap parpol agar masyarakat mengetahui
seluk-beluk calon wakil rakyat yang akan mereka pilih. Sistem yang di Amerika
disebut sistem demokrasi berbagi,
suatu sistem yang memberi informasi tentang latar belakang dari setiap calon
wakil rakyat. Dengan melakukan sistem ini, maka wakil rakyat yang terpilih
adalah wakil rakyat yang benar-benar berkompeten.
Memang,
untuk membangun semua ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, banyak rintangan
yang menghadang. Rintangan itu terutama berasal dari diri rakyat Indonesia
sendiri. Apabila rakyat tetap mengekspresikan kebebasannya di era reformasi ini
dengan lebih mementingkan kelompoknya, maka format ideal demokrasi Indonesia
akan jauh dari harapan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari
seluruh elemen bangsa untuk melihat suatu persoalan dalam perspektif kerakyatan
dan kebangsaan, bukan dalam perspektif kelompok maupun golongan. Dengan sikap
demikian, masa depan yang cerah bagi kehidupan demokratisasi di Indonesia akan
dapat tercapai. Sebagai masyarakat Indonesia yang
prihatin terhadap kondisi pemerintahan dan perpolitikan Indonesia.
Pemikiran-pemikiran dari seluruh rakyat Indonesia sangat diperlukan untuk
menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.
Untuk para anggota dewan yang merupakan representasi dari rakyat, emban tugasmu dengan penuh tanggung jawab dan profesionalisme. HIDUP MAHASISWA!!!
Untuk para anggota dewan yang merupakan representasi dari rakyat, emban tugasmu dengan penuh tanggung jawab dan profesionalisme. HIDUP MAHASISWA!!!
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Sistem pemerintahan presidensial apabila disandingkan dengan
sistem kepartaian multipartai sama dengan “pemakzulan”, itulah yang kiranya
terjadi di Indonesia saat ini. Multipartai dapat meminimalkan peran dari
presiden dalam mengambil keputusan, terlebih dalam sistem pemerintahan
Indonesia saat ini yang terkesan abu-abu, yakni menganut sistem pemerintahan
presidensial tapi dalam prakteknya lebih condong ke sistem pemerintahan
parlementer.
Segala kebijakan yang ingin dibuat oleh presiden harus
mendapat persetujuan dari parlemen atau DPR. Posisi antara presiden dengan DPR
yang setara atau sejajar setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 membuat sistem
presidensial di Indonesia menjadi ambigu. Bahkan pada saat ini kedudukan
DPR/Parlemen terkesan lebih dominan dibandingkan dengan alat/lembaga negara
lainnya termasuk Presiden. Kondisi inilah yang member kesan bahwa Indonesia lebih
condong menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut
untuk menjaga stabilitas pemerintahan Indonesia. Harus diberlakukan regulasi
baru guna memperkuat kedudukan Presiden karena sebenarnya Indonesia dalam
konstitusi menganut sistem pemerintahan presidensial.
Saran
Menurut pendapat saya,
penyederhanaan partai di dalam parlemen harus dilakukan. Ini bisa dilaksanakan
dengan membuat regulasi-regulasi baru seperti menaikkan ambang batas parlemen,
menggunakan sistem distrik, menggunakan formulasi penghitungan pemilu yang
lebih efektif, dan lain sebagainya. Penyederhanaan partai dalam parlemen saya
anggap penting karena melihat keadaan parlemen saat ini tidak adanya partai
yang dominan membuat kondisi perpolitikan Indonesia menjadi tidak stabil.
Partai pemenang pemilu yang
mengusung presiden saat ini pun harus membuat koalisi antar partai politik
dalam membuat kebijakan. Dalam koalisi parpol ini pastilah kental terjadi tarik
ulur kepentingan antar parpol di dalam koalisi. Dengan disederhanakannya partai
politik di parlemen maka kemungkinan munculnya partai dominan akan semakin
besar. Dan apabila partai pemenang pemilu dapat memperoleh suara dominan dan
mendapat kursi dalam jumlah besar, partai tersebut tidak perlu membuat koalisi
antar parpol setiap ingin mengambil keputusan, sehingga keputusan yang dibuat
merupakan representasi dari tujuan partai dan keinginan rakyat yang
diperjuangkan sesuai dengan ideology partai. Inilah yang menyebabkan mengapa
penyederhanaan partai politik di dalam parlemen saya anggap perlu.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar